
Kenapa Harus Memilih Jasa Nikah Siri Kami :
JAUHI ZINA !! ZINA NIKMAT SESAAT MENJADIKAN HIDUP GELISAH SEMRAWUT, MENYEMPITKAN REJEKI, MENURUNKAN OMZET USAHA, MEMBUAT HATI GUNDAH, GELISAH, HIDUP BERANTAKAN
Dasar Nikah Siri bandung
Salah satu Keutamaan manusia dibandingkan dengan mahluk ciptaan Allah SWT yang lain adalah di berikannya Akal dan Nafsu, Sampai Rasulullah SAW Bersabada Bahwa Jihad Terbesar adalah melawan hawa nafsu, salah satu nafsu yang melanda manusia adalah nafsu kepada lawan jenis, Sampai Rasulullah Mengatakan Jika kalian berdua an dengan seorang wanita maka yang ketiga adalah syaitan :
Apa Itu Nikah Siri/Sirri/Sirih ?
C. Dalam masayarakat Nikah Siri juga dapat diartikan sebagai :
- Nikah Siri, Pernikahan tanpa wali. Pernikahan ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju
- Nikah Siri, Pernikahan yang sah secara agama. namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Hal ini bisa didasari oleh banyak faktor diantaranya faktor biaya maupun karena takut ketahuan atau melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu kali dan sebagainya.
- Nikah Siri, Pernikahan yang dirahasiakan. karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena akan mendapat ghibah
Jadi Kesimpulanya Nikah Siri/Sirri/Sirih atau Nikah Di bawah Tangan Adalah Pernikahan yang Hanya Mengesahkan Secara Agama nikah yang sembunyi - sembunyi tanpa diketahui oleh orang di lingkungan sekitar. Dan tidak tercatat oleh negra tidak diakui oleh Negara.
“Sebaik-baik Pernikahan Adalah Pernikahan yang di langsungkan oleh Kementerian Urusan Agama (KUA) dimana Sah Secara Agama dan dilindungi Oleh Negara”
Bagaimana Syarat Nikah Siri di Bandung ?
- Adanya mempelai laki-laki, Sejatinya pernikahan dimulai pada saat akad nikah dilaksanakan. Bagaimana bisa akan akan berlangsung jika mempelai laki-lakinya nggak ada. Akad juga nggak bisa diwakilkan karena pada saat berlangsungnya akad juga merupakan proses penyerahan tanggung jawab wali mempelai perempuan ke mempelai laki-laki.
- Adanya Mempelai perempuan, Pada syariat Islam, disebutkan juga sahnya pernikahan saat ada mempelai perempuan yang halal untuk dinikahi. Seorang laki-laki dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk dinikahi. Haram untuk dinikahi di antaranya, pertalian darah, hubungan persusuan, atau hubungan kemertuaan.
- Adanya Wali Nikah/Wakilnya, Selain ada mempelai laki-laki dan perempuan, juga diperlukan wali nikah. Wali merupakan orangtua mempelai perempuan baik ayah, kakek, ataupun saudara dari garis keturunan ayah. Jika diurutkan yang berhak menjadi wali di antaranya ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung (kakak atau adik), saudara laki-laki seayah, saudara kandung ayah (pakde atau om), anak laki-laki dari saudara kandung ayah.
- Adanya Dua Orang Saksi, Dibutuhkan dua saksi nikah laki-laki yang mempunyai enam persyaratan, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil. Dua orang saksi ini dapat diwakilkan oleh pihak keluarga, tetangga ataupun orang yang dapat dipercaya untuk menjadi seorang saksi. Jika nggak ada saksi maka pernikahan tersebut nggak sah di mata hukum dan agama.
- Adanya Ijab dan Qobul Ijab dan qabul, dimaknai sebagai janji suci kepada Allah SWT di hadapan penghulu, wali dan saksi. Saat kalimat “saya terima nikahnya”, maka dalam waktu bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah untuk menjadi sepasang suami istri. Pada rukun nikah ini harus dipenuhi semuanya dan nggak bisa ditawar lagi.
- Beragama Islam Bagi Pengantin, Laki-Laki Pernikahan yang didasarkan pada syariat Islam, maka haruslah mempelai laki-laki dan perempuan beragama Islam. Nggak akan sah pernikahan tersebut jika seorang muslim menikahi non muslim dengan menggunakan tata cara ijab dan qabul secara Islam.
- Bukan laki-laki mahrom bagi calon istri, Pernikahan merupakan bersatunya sepasang laki-laki dan perempuan yang nggak mempunyai ikatan darah. Diharamkan bagi pernikahan jika mempelai perempuan merupakan mahrom mempelai laki-laki dari pihak ayah. Oleh karena itu mengecek riwayat keluarga juga diperlukan sebelum terjadinya pernikahan.
- Mengetahui Wali dari Akad Nikah Siri, Penentuan wali juga penting untuk dilakukan sebelum menikah. Bagi seorang laki-laki, mengetahui asal usul seorang perempuan juga diperlukan. Apabila ayah dari mempelai perempuan sudah meninggal bisa diwakilkan oleh kakeknya. Pada syariat Islam, terdapat wali hakim yang bisa menjadi wali dalam sebuah pernikahan.Walaupun diperkenankan, penggunaan wali hakim ini juga nggak sembarangan. Karena ada seorang ayah yang nggak diperkenankan menjadi wali anaknya sendiri. Tetapi ada pula meskipun nggak serumah tetapi seorang ayah berhak menjadi seorang wali bagi mempelai perempuan.
- Tidak Sedang Melaksanakan Haji Ibadah haji merupakan ibadah yang segala sesuatunya dilipat gandakan. Akan tetapi saat seseorang melakukan ibadah haji nggak diperkenankan untuk melakukan pernikahan. Seperti yang tertera dalam hadist berikut: لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ “Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Jika Sudah Siap Untuk Melangsungkan Nikah Siri Silahkan Lengkapi Persyaratan Nikah Siri di Bandung :
Bagaimanakah Hukum Nikah Siri ?
Hukum Nikah Siri
تاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ
Artinya : “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya,” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38).
Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:
حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص
Artinya : “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).
Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut,
B. Hukum Nikah Siri Menurut Negara ( UU Perkawinan )
Nikah Siri Didefinisakn Sebagai Nikah yang hanya di lakukan oleh modin/ Penghulu Nikah dan di saksikan oleh minimal 2 orang, dan itu sah secara agama, Undang-Undang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 2 Ayat 1, Berbunyi : “ Perkawinan adalah Sah, Apabila dilakukan menurut Hukum Masing-Masing Agamanya dan Kepercayaanya itu”
C. Hukum Nikah / Hukum Nikah Siri Tanpa Ijin Orang Tua
Salah satu Rukun Syarat Nikah ataupun Nikah siri adalah adanya Wali Nikah Bagi Calon Pengantin Wanita, Wali nikah itu yang peratama dari bapak kandung mempelai wanita, jika tidak ada maka kakek dari bapak, jika tidak ada maka saudara kandung laki-laki dari bapak, Jika tidak ada maka saudara kandung laki-laki dari bapak kandung, jika tidak ada maka anak laki-laki dari saudara kandung bapak, dan seterusnya, jika tidak ada maka bisa di wakilkan ke wali hakim.Menurut Imam Abu Hanifah di bolehkannya wanita menikah tanpa ijin dari walinya, di khususkan bagi seorang janda, dengan merujuk kepada Surat An-Nisa ayat 232, yang berbunyi :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوْا۟ بَيْنَهُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ
ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (An-nisa 232),
Dengan ayat ini Maka Imam Abu Hanifah Membolehkan seorang wanita menikah tanpa ijin dari walinya, jika wali menghalangi pernikahanya dengan alasan tidak syar’i
Berikut Beberapa Tafsir Tentang ayat Tersebut :
- Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) “Dan apabila kalian telah menceraikan istri istri kalian dengan talak kurang dari tiga kali dan masa iddah mereka selesai tanpa ada sikap rujuk suami kepada mereka, maka janganlah kalian (wahai para wali) mempersulit wanita-wanita yang telah ditalak itu dengan menghalang-halangi mereka untuk menikah lagi dengan akad baru dengan suami-suami mereka bila mereka memang menghendakinya, dan terjadi saling ridho antara dua belah pihak secara syariat dan kebiasaan yang berlaku. Hal itu adalah satu nasihat yang diarahkan kepada orang dari kalian yang memiliki keimanan yang benar kepada Allah dan hari akhir. Sesungguhnya sikap menghindari menghalang-halangi pernikahan dan memberikan kesempatan kepada suami-suami untuk menikahi istri mereka itu akan lebih mendatangkan keberkahan yang luas dan kesucian kehormatan-kehormatan mereka dan akan lebih besar manfaat dan pahala bagi kalian. Dan Allah mengetahui segala hal yang membawa kemaslahatan sedang kalian tidak mengetahui hal itu.
- Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 232.“ Jika kalian mentalak istri kalian dengan talak satu atau dua dan telah habis masa iddahnya, maka janganlah seorang wali menghalangi istri-istri itu untuk kembali kepada suaminya jika keduanya ridha dengan hubungan yang baik. Larangan ini ditaati oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Larangan yang agung ini sungguh lebih bersih dan lebih bermanfaat bagi kalian. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang mengandung kebaikan, sedangkan kalian tidak mengetahuinya. Syeikh as-Syinqithi berkata: firman Allah {فبلغن أجلهن} secara zahir menerangkan bahwa iddah istri benar-benar telah habis. Namun Allah menjelaskan dalam ayat lain bahwa rujuk hanya dibolehkan selama masih dalam masa iddah, hal ini Allah jelaskan dalam firman-Nya {وبعولتهن أحق بردهن في ذلك} dan isim isyarat {ذلك} tertuju pada waktu yang ada dalam masa iddah, yaitu selama tiga kali haid atau tiga kali suci yang Allah sebutkan dalam ayat: وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (al-Baqarah: 228)
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan {فبلغن أجلهن} yaitu: jika istri yang ditalak telah mendekati habis masa iddahnya. Imam Bukhari mengeluarkan hadits dari Hasan bahwa saudara perempuan Ma’qil bin Yasar ditalak oleh suaminya, lalu suaminya tetap tidak merujuknya sampai habis masa iddah. Kemudian suaminya ingin kembali menjadikannya istri dengan melamarnya, namun Ma’qil tidak merelakan hal itu. Maka turunlah ayat: فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya. (al-Baqarah: 232)
Hukum Nikah Siri Tanpa Ijin Wali
A. Nikah Siri Lebih Baik Dari Pada Zina
Jasa Nikah Siri Bandung, Bahkan di Pakistan dan Turki Sendiri menikah tanpa kehadiran Orang Tua sebagai hal yang biasa, karena mengambil dari kerelaan diantara keduanta an taodin minhum, Artikel ini saya ambil dari : ( https://www.rumahfiqih.com )
Dalam banyak literatur Fiqih, tak sedikit kita bisa temukan pendapat ulama tentang urgensi keberadaan wali bagi wanita. Sebagian besar ulama menganggapnya sebagai bagian dari rukun dalam nikah yang bilamana tidak terpenuhi maka tidaklah sah pernikahan tersebut. Namun berbeda dengan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa izin dan kehadiran wali hanyalah sebatas kepada hukum yang mustahab (disukai) dan tidak berpengaruh pada keabsahan akad nikah.Barangkali di tanah air dan sebagian besar negara dengan penduduk muslim, banyak yang menganut pendapat madzhab pertama, atau pendapat jumhur ulama yang mewajibkan izin dan keberadaan wali dalam nikah, bahkan hal ini tertulis dalam regulasi pernikahan dan tertera dalam undang-undangnya.Begitupula dengan negara yang dominan mengikuti madzhab Hanafi, tentunya mereka tidak menganggap izin dan keberadaan wali sebagai syarat sahnya pernikahan. Sehingga hal tersebut berpengaruh kepada tata cara pernikahan di negara tersebut, bahkan kepada undang-undang terkait perwalian dalam nikah. Seperti di Pakistan, wanita yang sudah masuk kategori dewasa, berakal sehat, dan mampu melakukan akad seperti halnya jual beli, maka dia berhak melangsungkan akad nikah baik dengan adanya izin wali ataupun tidak.
B. Apa Alasan Madzhab Hanafi Membolehkan Nikah tanpa wali ?
Ternyata ada sejumlah dalil dan jawaban dari golongan Hanafiyah tentang kebolehan bagi seorang wanita menikah tanpa wali. Di antaranya adalah dari hadist:
أنّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَمَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ
Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda: Wanita yang belum menikah lebih berhak atas dirinya daripada walinya (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Malik dalam al Muawatho’)
Selanjutnya dalil dari Riwayat Sahabat:
عن سهل بن سعد قال: جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله؛ إني قد وهبت لك من نفسي. فقال رجل: زوجنيها. قال: قد زوّجناكها بما معك من القرآن
Dari Sahal bin Sa’ad berkata: Datang seorang wanita kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepadamu. Kemudian seorang sahabat berkata kepada Rasulullah: Nikahkanlah aku dengannya. Lalu Rasulullah SAW berkata : Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang miliki dari bacaan Qura’an. (HR. Bukhari)
Dari riwayat di atas, tidak ditemukan redaksi tentang apakah saat itu Rasulullah menanyakan tentang keberadaan wali dari wanita tersebut. justru yang difahami oleh madzhab ini adalah bahwa beliau SAW langsung menikahkan sahabat dengan si wanita tadi.
Kemudian ada juga dalil dari ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan madzhab ini, diantaranya:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. (Al-Baqarah : 232)
Imam Jashos dari Hanafiah menjelaskan tentang ayat ini dalam kitabnya, Ahkamul Qur’an:
وَقَدْ دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ مِنْ وُجُوهٍ عَلَى جَوَازِ النِّكَاحِ إذَا عَقَدَتْ عَلَى نَفْسِهَا بِغَيْرِ وَلِيِّ وَلَا إذْنِ وَلِيِّهَا أَحَدُهَا إضَافَةُ الْعَقْدِ إلَيْهَا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ إذْنِ الْوَلِيِّ وَالثَّانِي نَهْيُهُ عَنْ الْعَضْلِ إذَا تَرَاضَى الزَّوْجَانِ
Dan ayat ini bermakna kepada sejumlah segi atas kebolehan nikah yang terjadi kepada wanita tanpa adanya wali dan tanpa izin dari walinya. Yang pertama adalah penyerahan otoritas akad kepadanya tanpa syarat harus izin kepada walinya, dan yang kedua larangan terhadap para wali untuk mencegah putrinya bila kedua calon mempelai sama-sama saling ridha.
C. Jawaban Madzhab Hanafi Terhadap dalil Mayoritas Ulama
Dalam menanggapi dua hadist yang menjadi landasan Jumhur ulama, para imam madzhab ini berpendapat bahwa hadist pertama yang diriwayatkan Zuhri masih diragukan dan dianggap cidera, Karena saat Zuhri ditanya tentang hal tersebut malah tidak tahu. Lalu pada hadist kedua, perlu dilirik kembali redaksinya menurut mereka. Dalam madzhab ini, hadist tersebut berlaku hanya untuk wanita yang belum baligh maka harus ada izin dari wali. Kemudian maksud dari “Janganlah wanita menikahkan wanita lain, dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri” adalah larangan bagi wanita dewasa menikahkan wanita yang masih anak-anak sepanjang masih ada walinya, serta dilarang bagi wanita yang belum baligh menikahkan dirinya sendiri.
Secara garis besar semua dalil yang berkaitan dengan pelarangan nikah tanpa wali menurut madzhab ini, objek redaksinya dikhususkan kepada wanita yang belum baligh, tidak berakal, tidak merdeka, dan belum mumayyiz.
Adapun dalil dari AL-Qur’an yang digunakan landasan oleh Jumhur, tidak menunjukan pengkhususan kepada hak perwalian yang eksplisit menurut madzhab ini.Meski demikian, tidak semua ulama madzhab ini sepakat satu suara dalam hal ini, seperti Imam Abu Yusuf yang berpendapat seperti jumhur ulama. Adapula yang mengatakan bahwa akadnya sah namun tetap dihukumi makruh.
D. Semua Wanita Boleh Menikah Tanpa Izin Walinya ?
Ternyata tidak semua wanita boleh menikah tanpa izin dari walinya, para ulama dari madzhab ini tetap membatasi siapa yang boleh menikah tanpa izin dari walinya. Dikatakan dalam kitab Fathul Qadir dikatakan:
الْوِلَايَةُ فِي النِّكَاحِ نَوْعَانِ: وِلَايَةُ نَدْبٍ وَاسْتِحْبَابٍ وَهُوَ الْوِلَايَةُ عَلَى الْبَالِغَةِ الْعَاقِلَةِ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا، وَوِلَايَةُ إجْبَارٍ وَهُوَ الْوِلَايَةُ عَلَى الصَّغِيرَةِ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا، وَكَذَا الْكَبِيرَةُ الْمَعْتُوهَةُ وَالْمَرْقُوقَةُ.
Perwalian dalam nikah itu ada dua jenis: jenis yang mandub dan mustahab, yakni perwalian atas wanita yang sudah baligh, berakal, baik itu perawan atau janda. Dan perwalian yang diharuskan yakni perwalian atas wanita yang masih kecil (belum baligh) baik itu perawan atau janda, begitupula wanita dewasa yang gila dan budak. Bahkan dalam riwayat lain, imam Hasan As-Syaibani dari Hanafiah mengatakan bahwa yang boleh jika wanita dan lelakinya sekufu, jika tidak sekufu maka tidak boleh bagi wanita menikah tanpa walinya.
Imam Abu Hanifah mengqiyaskan akad nikah dengan akad jual beli pada umumnya, dimana beliau menitik beratkan kepada pelaku transaksinya adalah baligh, berakal, mumayyiz, dan pada intinya adalah mereka yang mampu melakukan transaksi jual beli secara sehat dan syar’i.
E. Undang-Undang di Pakistan Terkait Nikah Tanpa Wali
Berbeda dengan Indonesia, negara yang menamakan dirinya Islamic Republic of Pakistan ini, dominan memegang teguh madzhab Hanafi. Hingga pada konteks pernikahanpun secara de jure dalam regulasi pernikahan antar muslim diatur sesuai faham madzhab Hanafi, termasuk pada hak perwalian.
F. Undang-Undang Pakistan Dalam Muslim Marriage Act, 1957 article 7 tertulis:
“The age at which a person, being a member of the Muslim community, is capable of contracting marriage shall be sixteen years : Provided that in the case of an intended marriage between persons either of whom being a male is under twenty-one years of age or being a female is under eighteen years of age (not being a widower or widow), the consent to such marriage, of the father if living, or, if the father is dead, of the guardian or guardians lawfully appointed or of one of them, and, if there is no such guardian, then of the mother of such person so under age.
“Usia minimal bagi seseorang sebagai umat muslim yang diperbolehkan melakukan akad nikah adalah 16 tahun: ini bersyarat dalam hal kesepakatan melakukan nikah bagi laki-laki di bawah 21 tahun, atau bagi wanita di bawah 18 tahun (bukan duda ataupun janda), maka harus ada izin atas pernikahan tersebut dari ayahnya bila masih hidup, bila meninggal, maka izin dari wali atau wali sah yang diwasiatkan atau salah satu dari mereka, dan jika tidak ada wali, maka izin boleh dari ibu sang anak yang di bawah umur tersebut”. Dalam undang-undang ini, menunjukan bahwa wanita di atas usia 18 tahun boleh menikah tanpa wali, dan ini banyak terjadi di Pakistan.
Kesimpulnya Tentang Nikah Siri di Bandung adalah, bahwa Undang-undang pernikahan di Pakistan dalam hal perwalian, memberikan kebebasan kepada wanita yang telah dewasa untuk menikah, baik dengan izin wali ataupun tanpa izinnya. Hal ini tentu mengadopsi dari pendapat madhzab Hanafi yang sangat kuat diikuti oleh muslim di negara ini, yang mana imam Abu Hanifah menganggap nikah dengan izin wali bagi wanita dewasa, berakal, baligh, dan mumayiz, hanyalah sebatas mustahab. Namun tetap bagi mereka, izin wali sangat diutamakan.
Semoga Artikel diatas yang saya ambil dari berbagai sumber artikel dan pendapat para ulama menjadi bahan pertimbangan bagi anda terkait hukum nikah siri atau nikah siri yang tidak mendapat ijin dari orang tua.
Dimanakah Tempat/Alamat Nikah Siri di Bandung ?
Berapakah Biaya Nikah Siri di Bandung ?
Perlukah Surat Nikah Siri di Bandung ?
Bagaimana Tata Cara Nikah siri di Bandung ?
- Hal pertama yang perlu dilakukan ialah Wanita Yang ingin nikah siri tidak bersuami atau sudah ditalak suami kesepakatan pisah atau cerai. dan Telah lewat masa iddahnya,
- dan ke ikhlasan dan keridhoan wanita untuk dinikahi.
- Jika bisa meminta izin kepada wali nikah yang sah dari pihak perempuan Jika bisa,
- Setelah siap Untuk menikah siri, pastikan adanya 2 orang untuk menjadi saksi nikah.
- Kemudian siapkan mahar atau mas kawin untuk ijab kabul.
- Yang terakhir, datangilah pemuka agama atau orang yang biasa menjadi Penghulu Nikah Siri Prabumulih pernikahan untuk melakukan ijab kabul.
Bagaimana Cara Cerai Nikah Siri ?
Setelah suami menceraikan istri, maka istri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain dengan syarat masa iddahnya telah berakhir.
Bagaimana Hukum Nikah Online ?
Bagaiman Cara Nikah Beda Agama ?
Hukum menikah dengan Agama lain menurut MUI sesuai fatwanya adalah haram dan akad nikahnya otomatis tidak sah, lalu bagaimana jika ingin menikah secara islam tapi beda agama, maka calon pengantin harus bersedia tanpa paksaan ikhlas untuk di mualafkan terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan akad nikah, memang ada beberapa pendapat membolehkan sah saja dalam agama menikah beda agama asal yang beda agama adalah calon wanitanya yang bukan ahli kitab, dangkal keagamaanya terhadap agamanya, tapi sebaiknya menikahlah dengan pasangan anda yang se iman, karena kaitanya dengan rumah tangga agar bisa satu visi.
- Hanya laki-laki muslim yang boleh menikahi wanita ahlul kitab, sedangkan wanita muslim tidak boleh menikahi laki-laki beda agama. Mengapa demikian?
Sebab posisi wanita dalam keluarga adalah menjadi makmum. Belum tentu bisa membimbing suaminya. Jadi jika suaminya non muslim maka bisa berisiko merusak pondasi keimanan rumah tangga.
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. (QS. Al-Maidah: 5)
Diperbolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dikarenakan adanya pendapat yang mengatakan bahwa waniat ahlul kitab berbeda dari wanita musyrik. Namun demikian dalam surat Al-bayyinah Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ahli kitab dan orang-orang musyrik termasuk orang kafir.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6)
- Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut MUI
Perkara tentang pernikahan beda agama sebenarnya telah dibahas oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama. Tepatnya pada Musyarawah Nasional (Munas) II tanggal 11-17 Rajab 1400 H atau 26 Mei -1 Juni 1980. MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama tidak diperbolehkan. Pendapat tersebut didasari oleh:
- Surat Al-baqarah ayat 221
- Surat Al-Mumtahanah ayat 10
- Surat At-Tahrim ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan- Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim : 6)
Hadist Riwayat Tabrani: “Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain.
Sabda Nabi Muhammad Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i : “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Abu Dawud Ibn Majah: “Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang mempunyai agama, engkau akan beruntung.”
Qa’idah Fiqh: Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan.
- Dengan itu, MUI menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama
- Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
- Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pernikahan beda agama tidak dianjurkan dalam islam,bahkan diharamkan. Walaupun ada beberapa yang membolehkan, namun kita dapat melihat bahwa ahli kitab jaman dahulu memang berbeda dengan jaman sekarang. Terlebih lagi kitab-kitab suci selain Al-quran (seperti injil atau taurat) juga telah diubah isinya oleh manusia. Lebih baik kita menikah dengan sesama muslim. Sebab syarat utama dalam mencari pasangan adalah agama dan akhlaknya. Dengan begitu kehidupan rumah tangga akan menjadi mawaddah, sakinah dan rahmah..
Kesimpulan dari jasa Nikah Siri Bandung : Jika ingin menikahi pasangan anda yang beda agama (Non Muslim), Hendaklah Bersedia untuk memeluk Agama Islam dan bersedia untuk di mualafkan terlebih dahulu, baru kemudian bisa dilaksankan nikah siri
Jasa Nikah Siri Bandung
